Berisiko, Upaya Jaga Pertumbuhan melalui Pelonggaran Kredit Properti
Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and
>> Pelonggaran likuiditas membuat bank menahan untuk ekspansi penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) maupun kredit kendaraan.
>> Kebijakan BI sebagai antisipasi pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi akan mengalami resesi.
JAKARTA – Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menurunkan ketentuan uang muka (down payment) melalui pelonggaran kebijakan rasio loan to value (LTV), baik untuk pembiayaan properti maupun kendaraan bermotor, dinilai bakal berisiko. Sebab, kemudahan untuk mendapatkan pinjaman konsumtif itu akan menambah jumlah kredit bermasalah di perbankan. Selain itu, pelonggaran kebijakan kredit konsumsi juga akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan tantangan pelonggaran LTV tanpa disertai operasi pelonggaran likuiditas yang signifikan akan membuat bank menahan untuk ekspansi penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) maupun kredit kendaraan. Dari sisi permintaan juga melambat karena tekanan daya beli, khususnya dari kelas menengah. “Jadi meski uang muka KPR-nya turun, tapi kemampuan mencicil pokok dan membayar bunga masih jadi hambatan utama,” katanya saat dihubungi, Minggu (22/9).
Menurut Bhima, BI pada tahun 2018 sudah coba melonggarkan LTV, tapi pertumbuhan kredit properti malah melambat. Jadi, harus dikaji ulang apakah stimulus dengan longgarkan LTV ini sudah tepat di tengah tekanan dari sisi likuiditas bank dan permintaan kredit yang lesu. “Artinya, pelonggaran LTV belum tentu efektif,” ujarnya.
Selain itu, tantangan krusialnya justru terletak pada koordinasi fiskal moneter yang timpang. Sebab, yang terjadi selama ini terkesan tidak padu, ibaratnya kebijakan moneter ke barat sementara fiskal ke timur.
Menurut Bhima, sekarang ini insentif fiskal untuk mendorong industri menjadi kurang menarik, terlalu umum, dan orientasinya jangka panjang. Sementara kebijakan moneter justru berorientasi jangka pendek. “Jadi, antara fiksal dan moneter belum nyambung, sehingga meskipun moneter sudah jor-joran. Kalau fiskal belum efektif jadi percuma. Inilah sebabnya, pertumbuhan ekonomi sulit bertahan di 5 persen, bahkan akan turun di 4,9 persen,” tandas Bhima.
Seperti diketahui, Rapat Dewan Gubernur BI pada pekan lalu memutuskan untuk menurunkan ketentuan uang muka melalui pelonggaran kebijakan rasio LTV. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan penurunan uang muka tersebut masing-masing sebesar 5 persen untuk pembiayaan perumahan dan 5 hingga 10 persen untuk kendaraan bermotor. Ketentuan tersebut berlaku efektif sejak 2 Desember 2019 mendatang.
Perry menjelaskan, pelonggaran rasio LTV properti serta penurunan uang muka pembiayaan kendaraan bermotor dilakukan merupakan bagian dari bauran kebijakan selain penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps). Dengan pelonggaran tersebut, diharapkan momentum pertumbuhan ekonomi bisa terjaga.
“Dengan penurunan suku bunga dan pelonggaran LTV maka bisa mendorong baik dari sisi dan demand untuk penyaluran kredit dan pembiayaan, sehingga bisa mendukung permintaan domestik, karenanya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” jelas Perry.
Selain penurunan suku bunga dan pelonggarn LTV, bauran kebijakan lain yang diterapkan oleh BI adalah relaksasi kebijakan makroprudensial untuk meningkatkan kapasitas penyaluran kredit perbankan dan mendorong permintaan kredit pelaku usaha.
Kredit Properti Melambat
Berdasarkan Analisis Uang Beredar yang dirilis BI, pertumbuhan kredit properti melambat per Juli 2019 hanya tumbuh 15,9 persen secara tahunan (year on year/yoy) sementara bulan Juni tumbuh 16,2 persen (yoy). Pertumbuhan kredit properti diperlambat oleh rendahnya pertumbuhan KPR dan KPA. Per Juli 2019, KPR dan KPA tumbuh 12,3 persen (yoy) melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 12,8 persen (yoy).
Dihubungi terpisah, Ekonomi Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, mengatakan kebijakan BI tersebut merupakan skema preventif ahead of the curve guna mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang melambat. Hal ini disebabkan downside risk dari pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi akan mengalami resesi.
“Untuk mengantisipasi sebelum terjadi, Bank Indonesia melakukan kebijakan countercyclical. Jadi, konsep kebijakan moneter itu biasanya di awal sehingga BI sudah punya ekspektasi ke depan kalau pertumbuhan ekonomi akan melambat. Dengan begitu, BI harus forward looking untuk melawan resesi itu dengan menurunkan suku bunga atau merelaksasi kebijakan makro prudensial,” jelasnya. YK/ers/AR-2
Submit a Comment