Pembatasan Hak Prerogatif Presiden
Pembaca Senin (12/8) menggelitik. Hal ini terutama terlihat dari judulnya yang berbunyi, Masih Adakah Hak Prerogatif Itu.” Isi surat pembaca tersebut secara garis besar mempertanyakan tentang hak prerogatif presiden dalam sistem presidensial karena para ketua umum partai mulai menyodorkan nama-nama yang menurut mereka layak menjadi menteri.
Malahan Ketua Umum PDI-P, Megawati, menuntut partainya harus diberi jatah menteri terbanyak. Alasannya, partai banteng moncong putih itu telah memenangkan pemilu. Masuk akal? Permintaan Megawati itu disampaikan di depan peserta Kongres V dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri.
Uniknya, Presiden Jokowi pun langsung menjawab permintaan Megawati. Intinya, Jokowi menyanggupi untuk memberi jatah menteri terbanyak kepada PDI-P. “Yang jelas, PDI-P pasti yang terbanyak. Itu jaminan saya,” kata Presiden. Jadi, Jokowi telah memberi jaminan PDI-P akan memperoleh jatah kursi menteri terbanyak. Berapa jumlah kursi menteri yang akan diberikan kepada PDI-P oleh Presiden Jokowi?
Meski menjamin akan memberi yang terbanyak, Jokowi tidak menyebut angka. Secara berkelakar, dia menyebut kalau partai lain mendapat dua, sedang PDI-P mendapat empat, ya sudah dua kali. Tapi tidak selalu dua kali seperti itu karena ketika dia melontarkan kalau partai lain tiga, lalu peserta kongres berteriak, enam, Jokowi bilang, “Ya, belum tentu juga.”
Dari isu yang muncul dalam Kongres V PDI-P tersebut, menggelitik pertanyaan surat pembaca: masih adakah hak prerogatif itu. Baik juga untuk direnungkan bersama, tepatkah ungkapan-ungkapan, langkah-langkah, dan tindakan-tindakan para ketua umum partai. Mereka tidak saja sekadar minta jatah menteri, tetapi membatasi Presiden agar memilih nama yang disodorkan. Padahal yang disodorkan ketua umum partai, belum tentu sesuai dengan keinginan Presiden.
Malahan, Megawati tidak mau hanya empat jatah. Dia minta yang lebih banyak, dan terbanyak! Jadi ada dua pembatasan hak prerogatif. Pertama, fait accompli nama (Presiden hanya bisa memilih dari nama-nama yang disodorkan ketua umum partai. Tidak tahu, apakah praktik sebelum ini seperti itu atau Presiden bisa memilih di luar nama yang disodorkan).
Pembatasan prerogatif kedua adalah jumlah kursi menteri. Secara logika permintaan PDI-P mungkin bisa diterima karena telah memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2019, khususnya minta jatah menteri terbanyak. Tapi menyebut angka (jangan empat)?
Saat ini, PDI-P mendapat jatah lima menteri. Mereka Mendagri Tjahjo, Menko PMK Puan, Menteri Hukum dan HAM, Yassono, Menteri Koperasi dan UKM, Anak Agung, serta Seskab Pramono. Koalisi lain, PKB (3), NasDem (3), Golkar (3), Hanura dan PPP (1). Sekarang partai pendukung Jokowi lebih banyak lagi. Kalau setiap partai akan diberi jatah menteri, lalu masihkah “kabinet ahli?” Jangan sampai yang terjadi adalah “kabinet partai”.
Memang banyak partai pendukung, baik untuk meraih kemenangan. Tetapi, ketika sampai pada penyusunan kabinet, mereka menjadi beban tersendiri bagi Presiden. Semua itu karena “tak ada makan siang gratis.” Dukungan partai tentu harus “dibayar”. Salah satunya dengan memberi jatah menteri. Semoga ketua umum partai mengerem diri, jangan bersifat mendikte Presiden agar Kepala Negara masih memiliki “sedikit” hak prerogatif.
Memang Presiden Jokowi sebagai orang Jawa tentu ada rasa sungkan. Maka dari itu, para ketua umum partailah yang mesti tahu diri. Jangan memaksakan kehendak, sehingga mempersulit posisi presiden. Boleh saja mendukung, tetapi mestinya diikuti ketulusan. Jangan ada maunya kalau mendukung. Hanya, bukan politik namanya kalau ada ketulusan.
Submit a Comment